Sejarah Singkat Masyarakat adat
Masyarakat adat Tatar merupakan Suku Tatar yang bermukim di wilayah Kedatuan Tatar. Sebelumnya Kedatuan Tatar merupakan bagian dari Kerajaan Tatat, dimana masing-masing Kedatuan mempunyai wilayah Kelola yang dikepalai oleh seorang Datu. Tidak diketahui secara pasti dari mana asal mulanya suku Tatar, hanya saja masyarakat yang bermukim di wilayah Kedatuan Tatar saat ini merupakan keturunan dari Suku Tatar sebelumnya Kehidupan masyarakat Tatar dalam wilayah kedatuan cenderung berkelompok. Dari pola hidup ini kemudian membentuk Penam atau satuan kelompok masyarakat yang menjadi tempat hidup dan ruang kelola. Adapun Penam Penam yang ada di Kedatuan Tatar antara lain: Penam Tatar, Penam Pusu, Penam Simpur, Penam Liangse, Penam Tuban, penam Peruk dan Penam Mahil atau Mawil. Masing-masing penam dipimpin oleh Nyaka. Nyaka inilah yang berkoordinasi dengan Datu. Masing-masing penam memiliki batas wilayah, sehingga secara keseluruhan batas kedatuan Tatar merupakan kulit luar dari batas penam-penam yang ada. Penentuan batas menggunakan sistem tunjuk dengan mengacu pada batas alam seperti sungai atau punggungan bukit. Kesepakatan batas antar penam disepakati oleh masing-masing Nyaka yang diketahui oleh Datu. Sehingga Datu yang mengesahkan penyepakatan batas-batas penam ini. Masyarakat yang ada di masing-masing penam masih mempunyai hubungan kekerabatan yang terbentuk melalui garis keturunan ataupun akibat dari sistem kawin mawin. Adapun yang masih dalam satu gans keturunan masyarakat yang berada di Penam Tatar, Penam Pusu, Penam Liangse dan Penam Tuban.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari dilakukan dengan cara bercocok tanam. Mulanya masyarakat membuka lahan dengan cara "Ngrahu". Kisaran luas lahan untuk berladang berdasarkan kemampuan untuk meniggarap dengan system "lar" Kegiatan bercocok tanam dilakukan dengan pola ladang berpindah dan sawah tadah
hujan. Sebelum mulai berladang, Nyaka dan Nujum yang merupakan perangkat adat yang ahli dalam bidang pertanian dan perbintangan akan memberikan petunjuk yang kapan waktu dan lokasi yang tepat untuk menggarap lahan. Sampai saat ini praktek tersebut masih dilaksanakan, mereka meyakini dengan demikian hasil panen akan melimpah tanpa serangan hama penyakit. Pertama kali komoditas yang dikembangkan selain padi adalah kacang hijau dan kopi. Tetapi saat ini tanaman kopi sudah tidak dikembangkan lagi
Peristiwa penting yang terjadi di Kedatuan Tatar, Pada zaman Kolonial Belanda membentuk Kesultanan di wilayah
kedatuan Tatar yang menyebabkan wilayah adat ini menjadi terkotak-kotak. Penam-penam yang ada berubah menjadi Kampung Sehingga sebutan Nyaka yang merupakan Kepala Penam berubah menjadi Kepala Kampung Secara tata pemerintahan Adat, Datu masih mempunyai kewenangan. Tetapi Kepala Kampung secara otomatis tidak berada dalam kewenangan datu karena sudah mempunyai system pemerintahan tersendiri.
Pada tahun 1820 di wilayah Kedatuan Tatar mengalami Panceklik atau krisis pangan dampak dari letusan Gunung Tambora yang mengakibatkan rusaknya lahan pertanian sehingga gagal panen. Peristiwa ini terjadi cukup lama
sekitar kurang lebih tujuh tahun. Akibat krisis pangan yang berkepanjangan, banyak terjadi perampasan hasil bumi atau yang disebut dengan "Goran". Masyarakat yang berada di Kampung bagian selatan masih memiliki hasil panen, tetapi kampung yang berada di bagian utara, timur, dan barat sudah tidak lagi mempunyai bahan pangan. Semakin
lama jumlah penduduk yang ada di sebaran Penam atau Kampung itu menjadi berkurang. Ada yang berpindah ke lokasi lain dan tidak sedikit pula yang meninggal dunia. Karena terjadi pengurangan jumlah penduduk, maka masyarakat yang tersisa di sebaran penam-penam yang ada melebur mejadi satu di Penam Tatar atau Kampung Tatar. Peleburan ini hanya tempat pemukimannya saja sedangkan untuk ruang Kelola masih tetap berada dilokasi semula. Tidak semua penam-penam yang ada itu melebur tetapi ada juga yang memisahkan diri yaitu Penam Granta yang selanjutnya ditempati atau dihuni Masyarakat adat Pedukuhan Talonang di bagian timur dan Masyarakat Adat Tongoloka di bagian barat. Pemisahan ini tidak hanya pada satuan unit social komunitasnya tetapi juga pada satuan
kewilayahannya. Pemisahan ini menyebabkan terjadi pergeseran batas menjadi lebih sempit dari batas sebelumnya Dari tanah skeet atau wilayah yang dilindungi bergeser ke Tongoloka sedangkan Wilayah Tatar bagian timur bergeser ke Monek. Pada zaman Penjajahan Jepang Masyarakat Adat mengalami kekerasan sehingga menyebabkan perlawanan. Pada
zaman itu terjadi kerja paksa untuk pembuatan jalan di lokasi Poto Batu, dan juga terjadi perampasan hasil-hasil bumi sehingga Kembali masyarakat mengalami kelaparan. Bukti peninggalan pada zaman Penjajahan Jepang terdapat Liang Tau, yang merupakan tempat persembunyian orang-orang tua terdahulu dari incaran tentara Jepang. Tempat
tersebut masih ada sampai sekarang
Tidak diketahui secara pasti, kapan masyarakat adat mulai mengenal ajaran agama. Mereka memeluk Agama Islam sejak Turun Temurun. Walaupun demikian ritual adat masih tetap dijalankan seperti Ritual adat untuk meminta hujan, Ritual adat untuk syukuran hasil panen, Ritual Adat tolak bala jika terjadi wabah penyakit. Adapun tempat-tempat keramat dalam menjalankan ritual seperti Ai Kebubuk, Ai Kemimi masih ada sampai saat ini. Ritual adat ini sebagai bentuk ungkapan syukur pada alam semesta melalui persembahan-persembahan yang dilakukan pada Pohon, Batu,
Sungai dan tempat-tempat lainnya yang dianggap keramat Pasca Kemerdekaan, secara administrasi wilayah kedatuan tatar berada di Desa Talonang. Tahun 1960 terjadi pemekaran dan Desa Talonang membentuk Desa Sekongkang bawah. Dengan pemekaran tersebut, wilayah adat tatar masuk dalam Desa Sekongkang bawah. Dalam lingkup administrasi pemerintahan satuan wilayah Kesatuan Tatar
merupakan salah satu dusun yang berada di Desa Sekongkang bawah yang Bermama Dusun Tatar selain Dusun Talonang dan Dusun Sekongkang. Desa Sekongkang bawah dipimpin oleh Kepala Desa, sedangkan masing-masing dusun dipimpin oleh Kepala Dusun. Pembagian peran yang terjadi antara Kepala Dusun dan Datu adalah lebih pada urusan adat dan administrasi tata pemerintahan. Dimana untuk urusan yang terkait dengan adat kewenangan ada pada Datu sedangkan untuk pelaksanaan tata pemerintahan dijalankan oleh Kepala Dusun, Pemekaran Kabupaten yang terjadi di Kabupaten Sumbawa Besar dan Sumbawa Barat berdampak pada perubahan
lokasi Desa Sekongkang bawah. Dimana sebelumnya Desa Sekongkang bawah secara administrasi berada dalam lingkup Kabupaten Sumbawa besar kecamatan Jereweh, setelah terjadi pemekaran maka statusnya berpindah berada di Kabupaten Sumbawa Barat Kecamatan Sekongkang. Terjadi pemekaran wilayah dimana Desa Sekongkang bawah memekarkan Desa Tongo. Keberadaan wilayah Tatar tetap menjadi dusun di Desa Sekongkang bawah. Sekitar tahun 1973-1974 Masyarakat adat di Wilayah Tatar yang berada di Desa Sekongkang bawah, oleh pemerintah dipaksa untuk pindah ke Lebuan Sinutuk (saat ini merupakan lokasi SP I), Alasannya untuk memudahkan pendataan terkait dengan administrasi tata pemerintahan. Mengingat saat itu akses jalan menuju wilayah Tatar cukup jauh dari
pusat pemerintahan ditambah kondisi jalan hanya jalan setapak yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Masyarakat mengikuti saran dari pemerintah, karena hanya tempat pemukimannya saja yang berpindah sedangkan untuk lahan garapan masih berada di Wilayah Tatar Pemindahan ini tidak disertai dengan perjanjian atau dokumen secara tertulis.Karna masyarakat beranggapan bahwa pemindahan ini merupakan intruksi yangv wajib untuk dilaksanakan.